Sebagai makhluk sosial tentu manusia hidup berkelompok dan membutuhkan manusia lainnya. Istilah ini sering kita dengar dengan sebutan Zoon Politicon oleh seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Memang kodrat manusia adalah makhluk yang bergaul dengan masyarakat, makhluk yang berkeluarga, membutuhkan sahabat dan makhluk yang berorganisasi (membutuhkan bantuan manusia). Sulit dikatakan manusia bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Ada banyak cara yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk sosial agar hubungan (interaksi) antar sesama manusia berjalan dengan baik salah satunya adalah saling berkunjung kerumah masing-masing. Siapapun yang berkunjung kerumah apakah kerabat, sahabat maupun sejawat biasanya kita sebut dengan istilah tamu. Meskipun sebenarnya defenisi tamu dalam bahasa Indonesia dan syariat Islam menurut sebahagaian ulama berbeda, tetapi perbedaan itu tidaklah signifikan.
Kebiasaan berkunjung seperti ini dalam kehidupan sehari-hari tak bisa kita hindari. Tak berlebihan jika saya mengatakan bahwasanya tak ada satupun manusia yang tidak pernah dikunjungi oleh seseorang (tamu), tetapi disamping itu tak berlebihan juga saya mengatakan bahwasanya tidak semua manusia mengetahui bagaimana cara memuliakan dan menghormati tamu.
Sebagai seorang muslim tentu kita ingin mengetahui bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan cara memuliakan tamu. Maka didalam Al-Qur`an surat Adzaariyat ayat 24-27 Allah SWT menceritakan suatu ketika nabi Ibrahim AS didatangi oleh seorang tamu, yang mana tamu itu sama sekali tidak dikenalnya. Ketika tamu itu masuk dan mengucapkan salam nabi Ibrahim pun menjawab salam. Setelah itu dia (Ibrahim) pun diam-diam pergi menemui keluarganya dan membawa anak sapi yang gemuk lalu didekatkanlah (hidangan) itu kepada tamunya. Memuliakan tamu memang merupakan kebiasaan nabi Ibrahim yang sudah berkembang sejak lama, dan kemudian dilanjutkan oleh Rasulullah Shalllahu `alaihi wa sallam.
Berbicara memuliakan tamu, Rasulullah Shalllahu `alaihi wa sallam empat belas abad yang lalu mengingatkan umatnya “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Lantas bagaimana maksud tentang memuliakan tamu pada hadits diatas, maka para ulama mengatakan maksud memuliakan tamu itu adalah baik dalam hal melayani tamu. Bentuk baik dalam hal melayani tamu menurut ulama adalah pertama menampakkan kegembiraan diwajahnya. Ketika kita dikunjungi oleh tamu maka kita dianjurkan untuk menampakkan wajah kegembiraan, wajah sumringah dalam menyambutnya, kegembiraan dalam berkomunikasi didepannya sampai kegembiraan ketika tamu pulang.
Kemudian yang kedua adalah berkata baik, bertutur kata dengan lemah lembut dan berbicara yang baik-baik kepada tamu. Kemudian yang ketiga adalah menguraikan hamparan (tikar) karena kedatangan tamu. Dan kemudian menjamunya dengan makanan ataupun minuman.
Memuliakan tamu mencerminkan betapa mulianya hati kita, betapa mulianya hati tuan rumah kepada tamu-tamunya. Memuliakan tamu juga menandakan bahwasanya kita memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah dan hari Akhir. Dengan jamuan yang disuguhkan, dengan adab mulia yang ditampilkan berharap bahwa Allah menghitungnya menjadi amal sholeh yang berbuah pahala dan balasan dari Allah.
Suatu ketika Rasulullah Shalllahu `alaihi wa sallam, Abu bakar, Umar dan Utsman datang bertamu ke rumah Sayyidina Ali. Disana Rasulullah beserta sahabat dijamu oleh Fatimah, putri Rasulullah Shalllahu `alaihi wa sallam, sekaligus istri Ali bin abi Thalib. Singkatnya Fathimah menghidangkan untuk mereka semangkuk madu, fatimah menghidangkan kepada Rasulullah beserta sahabat semangkuk madu. Ketika mangkuk itu diletakkan, sehelai rambut jatuh melayang kedalamnya. Dan Rasulullah pun meminta mereka untuk membuat perbandingan untuk ketiga benda tersebut.
Kisah diatas secara eksplisit memang tidaklah menceritakan tentang adab bertamu, tidak menceritakan tentang memuliakan tamu, melainkan menceritakan tentang nikmatnya iman. Hal ini bisa kita lihat dari sebab turunnya hadits tersebut (asbabul wurud). Tetapi jika kita melihatnya lebih jeli secara implisit hadits tersebut mengandung ajakan, mengandung pelajaran bahwasanya memuliakan tamu sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah, sahabat bahkan anak-anak Rasulullah.
Sehingga tidaklah salah jika Imam Nawawi berkata “Menjamu dan memuliakan tamu adalah termasuk adab dalam Islam dan merupakan akhlak para nabi dan orang-orang shalih”. Tiga dari empat ulama madzhab yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i menilai memuliakan tamu dan menghormatinya merupakan suatu perbuatan yang disunnahkan, bahkan Imam Ahmad bin Hambal menghukuminya wajib.
Wallahu a`lam....
Baca Juga: