Pemuda atau yang saat ini familiar dengan sebutan “generasi milenial” selalu menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak generasi milenial yang diharapkan sebagai agen perubahan (agent of change) sering kali melakukan tindakan-tindakan diluar nalar atau akal sehat. Kita sering menyaksikan betapa mereka menginginkan pola hidup kebebasan sehingga terjadilah tindakan-tindakan dari hasil reaksi kebebasan itu. Banyak dari mereka melakukan tindakan-tindakan yang melanggar etika dan susila seperti tidak hormat kepada orang tua dan gurunya, pergaulan bebas antar lawan jenis sampai kepada pergaulan seks pranikah. Generasi milenial juga menyukai sikap hedonis sehingga sering kita menyaksikan betapa mereka mengagungkan kenikmatan semata demi melampiaskan hasrat kesenangan. Mereka sering kali melakuan apa saja untuk mendapatkan materi dan kenikmatan seperti mencuri, mencoba narkoba, berjudi, melakukan tawuran dan perkelaihan, sampai kepada ikut serta meramaikan dunia malam (Clubbing). Disamping itu permasalahan yang lain adalah betapa generasi milenial terkadang tidak punya visi misi yang realistis namun sebaliknya sangat idealistis, sehingga ketika gagal dalam menggapai apa yang diinginkan mereka selalu mengalami yang namannya frustasi sehingga masa depanpun akan terganggu. Kesemuanya akibat kurang matangnya beberapa aspek dalam diri mereka seperti aspek biologis, intelektual, emosional, sikap dan nilai.
Beberapa tahun terakhir ini banyak kejadian yang membuat hati kita ter-enyah tentang sikap generasi milenial khususnya seorang pelajar. Mulai dari seorang pelajar yang berani mengajak gurunya untuk berkelahi dan menghantamnya sampai meninggal dunia akibat ditegur oleh gurunya ketika dalam proses belajar mengajar, adalagi seorang siswi yang melahirkan di toilet akibat dari seks pranikah dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari yang seakan-akan dianggap wajar oleh para pelajar dan sebahagian masyarakat seperti mempertontonkan kemesraan didepan umum, merokok secara terang-terangan meskipun seragam sekolah masih melekat dibadan dan lain sebagainya.
Permasalahan sosial atau kejadian-kejadian immoral diatas sangatlah memilukan bagi siapa yang mendengarnya khususnya bagi seorang tenaga pengajar. Betapa seorang guru yang diamanatkan oleh konstitusi untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa seolah merasa belum berhasil untuk menunaikan amanat konstitusi itu. Banyak peneliti atau pemerhati pendidikan yang berusaha untuk mencari solusi agar pendidikan itu berkualitas dan berkarakter. Untuk itu menurut saya ada beberapa hal yang harus kita perhatikan agar pendidikan itu sukses.
Pertama adalah orangtua dan guru harus dapat menjadi model. Orangtua harus dapat memberikan contoh, suri tauladan dan dapat mengarahkan anak-anaknya kepada hal-hal yang positif agar seorang anak menjadi pemenang. Sebagaimana hal ini juga telah dijelaskan didalam ajaran Islam yaitu dalam firman Allah pada Q.s. At-Tahrim ayat 66 yang artinya “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Pada dasarnya ayat ini memberikan informasi kepada kita betapa orang tua berkewajiban membimbing, mengajarkan sesuatu kepada istri dan anak-anaknya agar bahagia didunia dan selamat diakhirat. Rasulullah SAW juga pernah mengingatkan kepada kita bahwa sekolah (madrasah) pertama bagi anak-anak adalah ibunya.
Selanjutnya adalah peranan guru. Siapa yang meragukan peranan seorang guru dalam menciptakan pelajar yang sukses dan berkarakter. Saya sangat meyakini di negara manapun dan dalam ajaran apapun peranan guru bagi seorang pelajar sangatlah penting. Masih terpatri diingatan kita persitiwa hancurnya hiroshima dan nagasaki karena dibom oleh sekutu AS. Saat itu Jepang mengalami lumpuh total, korban meninggal mencapai jutaan orang, belum lagi efek radiasi bom tersebut yang diperkirakan membutuhkan puluhan tahun untuk menghilangkan itu semua. Tetapi ketika Jepang menyerah pada sekutu ada yang terlontar keluar dari mulut Kaisar Hirohito menanyakan kepada Jendral yang masih hidup “berapa jumlah guru yang tersisa?”. Padahal secara logika sederhana seharusnya kaisar menanyakan “berapa jumlah jendral yang tersisa?”, karena para jendral lah yang dapat menyelamatkan dan melindunginya.
Kedua adalah pendidikan harus dapat menyebarkan cinta kasih sayang. Pendidik harus mengajarkan kepada seorang pelajar bahwa betapa dalam kehidupan sehari-hari atau kebinekaan manusia harus saling menyayangi antar satu sama lain, saling menghormati dan menghargai meskipun terdapat banyak perbedaan. Pendidikan harus dapat memupuk sikap toleransi yang tinggi pada beragam perbedaan. Adanya perbedaan agama, etnis dan budaya tak membuat pelajar menjadi fanatisme dan anarkisme. Islam pun menganjurkan akan pentingnya cinta kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dapat diketahui dengan anjuran memberikan senyuman kepada setiap orang agar menumbuhkan cinta kasih sayang antar sesama. Rasulullah pun ketika hijrah ke Madinah pertamakali yang beliau ajarkan kepada penduduk Madinah adalah tentang cinta kasih sayang yaitu memperbaiki akhlak manusia.
Ketiga adalah pendidikan harus dapat memberikan teladan. Prof. Muhammad Quthub pernah mengatakan keteladanan dalam pendidikan merupakan sarana yang paling efektif dan paling dekat kepada kesuksesan. Pendidikan teladan juga berhubungan dengan kurikulum apa yang ditawarkan, bagaimana SDM guru atau tenaga pengajarnya serta apa output dari pendidikan itu. Banyak tenaga pengajar yang sangat cerdas, luar biasa pintar tetapi pribadinya tidak mencerminkan keteladanan. Banyak tenaga pengajar yang mampu membuat kurikulum yang bagus dan sesuai dengan permintaan zaman tetapi selama kurikulum itu tidak implementatif (tidak berubah dari goresan tinta menjadi fakta) maka kurikulum tersebut tidaklah berguna. Kurikulum itu harus dapat diterjemahkan melalui konsep-konsep menjadi kurikulum berupa tindakan, ucapan, perasaan maupun pikiran maka itu sesungguhnya yang disebut kurikulum yang memberikan teladan.
Wallahu `alam...
Baca Juga: